it's me

it's me

Kamis, 07 Januari 2010

Revitalisasi Seni Badeng “Pusaka Putra”


Memberdayakan Potensi Seni Daerah

Upaya melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional khususnya di Jawa Barat dewasa ini memang diperlukan wawasan strategis dan perhatian yang cukup serius. Perkembangan ilmu dan teknologi modern telah merubah perkembangan seni tradisional dalam abad ke-21 ini. Seni tradisional yang pada umumnya berkembang di pedesaan diharapkan harus tetap hidup dan berkembang.

Salah satu dampak perkembangan ilmu dan teknologi yang paling terlihat adalah pada bidang industri, hal ini dapat dilihat dengan semakin bertambahnya masyarakat urban, dimana masyarakat semakin gencar bersaing mencari lahan kerja dalam dunia industri. Masyarakat yang agraris sebagai ciri khas masyarakat Sunda semakin banyak ditinggalkan. Sementara pemerataan wilayah industri antara di wilayah pedesaan dengan perkotaan tidaklah berimbang, akibatnya masyarakat pedesaan makin banyak berpindah menjadi masyarakat kota. Salah satu hal yang terkena dampaknya adalah kesenian daerah yang makin termarjinalkan bahkan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Eksistensi dan keberadaannya semakin surut bahkan terancam punah.

Sebulan yang lalu pada peringatan bulan Muharam 1429 H, di salah satu daerah di kabupaten Garut tepatnya di Desa Padasuka Cibatu, disajikan salah satu kesenian tradisional yang disebut seni Badeng. Menurut penuturan salah satu tokohnya menyebutkan, sebelum seni Badeng ini dapat dipentaskan seperti sekarang ini, dalam kurun waktu hampir 20 tahun (kira-kira mulai tahun 1987) seni Badeng ini telah lama tidak aktif, bahkan alat pendukung berupa instrumen dan fasilitas lainnya telah rusak dan tidak ada lagi. Namun berkat prakarsa beberapa elemen masyarakat di daerah ini seni Badeng ini dapat aktif kembali melalui proses revitalisasi yang dilakukan selama kurang lebih 3 bulan.

Sekelumit Tentang Badeng

Antara Angklung Gubrag, Dogdog Lojor, dan Seni Badeng menggunakan waditra (instrumen) yang sama yaitu; Dogdog panjang dan beberapa buah angklung yang digunakannya. Dalam sejarah perkembangannya, Seni Badeng itu didirikan oleh dua orang santri yang berasal dari daerah Banten kira-kira pada tahun 1801, kedua orang tersebut masing-masing bernama Arpaen dan Noorsaen, dan setelah meninggal mereka diberi gelar Embah Acok. Mereka dimakamkan di sekitar Astana Haur yang termasuk di Desa Sanding Malangbong Garut. Ada pun kesenian yang digarapnya berfungsi sebagai alat hiburan dan alat komunikasi dalam rangka penyampaian ajaran agama Islam serta pendidikan lainnya.

Seni Angklung Badeng yang dinamai “Pusaka Putra” merupakan salah satu grup seni Badeng yang berada di desa Padasuka kecamatan Cibatu kabupaten Garut. Seni Badeng di daerah ini berkembang kira-kira pada tahun 1947 yang dikembangkan salah satu tokohnya bernama Abah Iyon. Abah Iyon adalah warga kampung Dukuh Padasuka dan menikah dengan salah satu warga dari kampung Kancil desa Padasuka sekitar tahun 1945 dan menetap di kampung Kancil. Di kampung Kancil inilah Abah Iyon mengembangkan Badeng bersama Aki Arnapi. Sekitar tahun 1961 Seni Badeng dari Desa Padasuka ini pernah dipentaskan di salah satu festival kesenian di Kabupaten Garut (di Gedung Cung Hua) dan menjuarai penampilan terbaik saat itu. Sekitar tahun 1963 main di Gedung Sate Bandung di depan Gubernur pada saat itu.

Secara fungsional kesenian ini berfungsi sebagai sarana hiburan yang sering dipentaskan pada acara selamatan khitanan, pernikahan, perayaan hari-hari besar, yang biasa dimainkan malam hari hingga tengah malam. Seni Badeng di desa Padasuka selalu diisi dengan Debus dan Bobodoran (lawakan) sebagai unsur tambahan untuk menambah kemeriahan pementasan seni Badeng tersebut. Struktur pertunjukan seni Badeng, disebut dengan babak yang terdiri dari babak Wawayangan, Hahayaman, Endong-endong dan sajian selingan, yakni; Bobodoran, Debus, dan Dodombaan sebuah atraksi mimesis (tiruan) perilaku binatang layaknya seperti adu domba. Adapun instrumen yang digunakan yaitu; 9 buah angklung, 2 buah dogdog lojor (panjang), kendang, goong, tarompet, dan Kecrek.

Seni Badeng ini dipimpin dan dikelola secara langsung oleh seorang kepala desa pada saat itu, hingga tahun 1985 yang secara bergantian selama 3 orang kepala desa seni badeng ini berkembang dan sering dipentaskan pada acara-acara tertentu. Mulai sekitar tahun 1987, pengelolaan seni badeng ini semakin menurun. Seni Badeng di Padasuka ini menjadi tidak berkembang. Hal ini disebabkan merosotnya perhatian dan sistem pengelolaan yang baik dari pemerintah setempat. Selain itu, seni badeng ini tidak aktif disebabkan beberapa faktor pula, antara lain:

1. Tidak adanya proses regenerasi.

2. Berkurangnya minat masyarakat untuk mementaskan seni Badeng ini.

3. Beberapa tokoh pemain seni Badeng meninggal.

4. Instrumen (waditra) Badeng rusak bahkan tidak ada lagi.

5. Kurangnya perhatian dan pembinaan dari lembaga setempat.

Revitalisasi dan Pemberdayaannya

Menilik kasus di atas, maka pada tahun 2007 lalu sebelum seni badeng ini dipentaskan pada kesempatan menyambut tahun baru Islam pada bulan Muharam 1429 H kemarin, atas prakarsa beberapa tokoh seni dan pemerintah setempat saat ini, seni badeng ini dapat diangkat melalui proses revitalisasi. Revitalisasi seni pertunjukan merupakan usaha untuk menguatkan kembali suatu seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di masa yang lalu namun kini sudah lesu bahkan mungkin sudah tidak pernah digunakan lagi. Revitalisasi bisa dilaksanakan bila sedikitnya ada seorang seniman senior yang pernah terlibat ketika seni pertunjukan tersebut masih digunakan dan orang tersebut mau mengajarkan sedikitnya kepada seorang generasi penerus untuk melanjutkan penggunaan seni pertunjukan itu kembali.

Upaya revitalisasi ini dilaksanakan sekitar tiga bulan melalui proses rekonstruksi, pengemasan, pembinaan, dan latihan mencakup peralatan dan pertunjukannya. Program ini jika dilihat merupakan program yang sangat positif dalam rangka mengangkat dan mengembangkan seni tradisional yang ada di Jawa Barat dan dapat dijadikan contoh bagi seni-seni lainnya yang keberadaannya surut bahkan terancam punah.

Upaya revitalisasi ini secara langsung dilakukan oleh masyarakatnya sendiri sebagai upayanya untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisional yang dimilikinya. Hal ini kiranya dapat dijadikan salah satu upaya yang perlu dibangun di setiap daerah yang memiliki beberapa jenis kesenian yang hampir punah. Upaya yang terpenting adalah sejauhmana program revitalisasi ini dapat ditempuh dengan memberdayakan masyarakatnya secara maksimal.

Proses revitalisasi ini ditempuh melalui upaya pengembangan dan pengemasannya kembali agar dapat menjadi bagian utama dari masyarakatnya. Hal ini dapat dijadikan bagian dari upaya pemberdayaan (empowerment) terhadap potensi kesenian daerah. Pemberdayaan artinya bahwa masyarakat menjadi bagian terpenting dalam melaksanakannya.

Kesenian dan masyarakat adalah unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya sebagai unsur pencipta, pelaku, dan penikmat dari kesenian itu. Maka di sini yang harus dijaga adalah pemberdayaan potensi seni tersebut harus dilakukan dengan melibatkan masyarakatnya. Pemberdayaan bukan upaya pengeksploitasian masyarakat sebagai objek dari pelaksanaan proyek tertentu, melainkan upaya untuk membangun daya yang dimilikinya, dengan memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Dalam kerangka pikiran tersebut, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pengembangannya sendiri. Menilik dari apa yang dilakukan masyarakat dalam menghidupkan kembali seni Badeng “Pusaka Putra” ini sedikit dapat memberikan gambaran, betapa masyarakat masih memiliki kemampuan dalam memberdayakan potensi yang dimilikinya. Hal yang terpenting adalah cara dan sistem pendekatan dalam memberi motivasi yang kuat untuk merealisasikan langkah pemberdayaannya.

Selain itu pula, hal yang harus dibangun adalah rasa kepemilikan bersama. Artinya, langkah revitalisasi dalam upaya mengangkat kembali kesenian ini tidak akan berhasil apabila masyarakatnya secara umum tidak dapat memberikan respon positif terhadap keberadaan kesenian ini. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya contoh tauladan kecintaan dan rasa kepemilikan terhadap kesenian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat baik formal maupun non formal. Seperti halnya seni badeng ini, meski tarafnya dilakukan oleh seorang kepala desa, namun ternyata cukup memberikan respon positif bagi masyarakatnya, seperti dengan menampilkan seni badeng “Pusaka Putra” ini pada acara peringatan hari-hari besar seperti menyambut Muharam kali ini.

Potensi seni sebagai sumber daya yang ada atau yang dimiliki, haruslah dijadikan sebagai bagian yang dimiliki masyarakatnya. Setelah melalui proses revitalisasi ini, seni badeng “Pusaka Putra” saat ini telah hidup kembali di tengah-tengah masyarakatnya. Namun demikian layaknya seperti bayi yang baru lahir, seni Badeng “Pusaka Putra” ini masih dalam taraf pematangan lebih lanjut. Hal yang menjadi modal dasar untuk mengembangkan kesenian ini adalah dengan sistem pengelolaan atau manajemen pengelolaannya yang optimal. Salah satu faktor organisasi seni tradisional banyak yang terkikis adalah karena lemahnya sistem pengelolaannya. Barangkali dengan pembinaan dan perhatian tentang hal ini perlu direalisasikan lebih seksama oleh berbagai elemen dan lembaga masyarakat yang ada agar pengembangan seni-seni yang kondisinya seperti kasus seni badeng ini dapat terwujud dalam rangka memperkuat jati diri bangsanya melalui seni dan budaya.


Tidak ada komentar:

iranish tv

Watch live streaming video from iranishtv at livestream.com